Kontes SEGGER (Senyum Ekspresi Blogger)


Senyum manja seribu bahasa


Ibarat siklus hidup bunglon beradaptasi terhadap lingkungan, setiap senyuman punya arti masing-masing menyesuaikan situasi dan keadaan. Walaupun begitu senyumanmanja multitafsir menjadi dorongan kebaikan, ketika kebahagiaan dirangkul kolektivitas. INDONESIA, INILAH SENYUMKU!

Kategori:Foto SEGGER Pria

Senyuman Mengikat dan Terikat


Seandainya hari itu kalian bertanya, siapa orang-orang yang paling bersemangat?
Kami lah jawabnya. Dua orang pemuda yang berjanji suatu hari nanti akan membawa senyumnya kembali ditempat yang sama. INDONESIA TERCINTA!

Kategori : Foto SEGGER DUET

Menjadi Anggota DPD RI Berakal Sistem Tatanegara Ideal, Berhati Nurani Rakyat, dan Berjiwa Mahasiswa

|

Menjadi Anggota DPD RI Berakal Sistem Tatanegara Ideal, Berhati Nurani Rakyat, dan Berjiwa Mahasiswa

DPD dibubarkan saja kecuali kewenangan DPD ditambah dan diperkuat.”, Jimly Asshiddiqie.


Ditengah kesemrawutan problematika demokrasi, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) masih dinilai nisbi dan “serba tanggung” sebagai suatu lembaga legislatif. Asas trias politica oleh Montesqiue sebenarnya mengajarkan tidak hanya berfungsi sebagai separation of power, melainkan untuk negara yang menganut presidensial dapat mengaplikasikan aspek distribution of power. Tujuannya check and balances lebih mudah direalisasikan dalam sistem pemerintahan. Namun sayangnya, posisi DPD RI kembali berbenturan dengan peran DPR RI karena tumpang tindih wewenang atau mudahnya ambiguinitas antara unicameral dan bicameral. Sehingga memberi distorsi kualitas kinerjanya.

Andai saya menjadi anggota DPD RI, tugas pertama yang perlu digodok ialah sintesa rekonstruksi parlemen*melalui afiliasi konsep trias politica milik Indonesia sendiri. Penguatan fungsi legislasi DPD, tetapi dengan membatasi peran atau keterlibatan Presiden dalam fungsi legislasi. Insha Allah akan mampu menjawab keterbatasan posisi DPD dalam pasal 22D Ayat (1) dan ayat (2). Sehingga political will yang kuat demi membagun bangsa lewat daerah mampu diterjemahkan oleh mekanisme checks and balances dalam pembahasan RUU yang hanya terjadi antara DPR dan DPD. Sistem ketatanegaraan ideal seperti ini dengan pemikirannya akan sanggup menjawab rintangan macam kecepatan proses pembuatan undang-undang dan “ongkosnya” yang mungkin seperti ceremonial DPD RI belakangan ini. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa lewat kehadiran unsur “komite penengah” dan semangat kolektivitas kami anggota parlemen (das sein). Peran dan fungsi DPD RI inilah yang menjadi harapan (das solllen) untuk menjaga keutuhan bangsa, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah yang sedang terpuruk dalam suasana kesenjangan dan kecemberuan sosial berkepanjangan, rawan mengancam disintegrasi bangsa. bukan sebaliknya. Andai saya menjadi anggota DPD RI, format sederajat berakal sistem ketatanegaraan ideal pasti akan terwujud.

Hamdan Zoelva menyatakan “Dalam perubahan UUD 1945 ini ditentukan dengan tegas bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C ayat 1), yang jumlahnya sama untuk setiap provinsi (Pasal 22C ayat 2)”. Di tengah keterbatasan ini, saya memahami betul kuatnya pengaruh kekuasaan yang ada pada tiap anggota DPD RI. Yang dipilih murni dari suara rakyat daerah, mengetahui seluk beluk permasalahan dan kepentingan daerah, dan wewenang memberikan pertimbangan kepada DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (pasal 22D ayat 2). Andai saya menjadi anggota DPD, maka pertimbangan RUU akan terfokus ke pajak investasi dan pembangunan sektor riil yang selama ini kurang mewakili kepentingan rakyat di daerah. Yang afeksi negatifnya dapat dilihat layaknya Mesuji, Bima, dan Papua. Problematikanya karena terselip kepentingan partai politik di anggota DPR RI, tidak seperti DPD RI yang lebih mampu menyuarakan potret aspirasi rakyat di pelosok daerah. Yang mana saya checklist di “blog DPD RI” agar mampu tersebar secara massive dan menggugah hati nurani tiap elemen bangsa, khususnya para investor. Lanjut kata, sebagai representasi berkedudukan horizontal mendampingi eksekutif daerah. Jiwa mahasiswa yang mampu mengkritisi deep and cutthroat menjadi modal penting untuk fungsi pengawasan. Agar jelas terpampang independensi controlling kebijakan pemerintah khususnya dalam*program developmentalism pelosok daerah untuk bersinergi menghidupkan harapan rakyat. Andai saya menjadi anggota DPD RI berhati nurani rakyat dan berjiwa mahasiswa.
|



Muhammad Farayunanda Ralufzie. 115120400111015.

Program Studi Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Universitas Brawijaya

Pengantar Ilmu Politik. Tugas Pertama Pasca-UTS. Budaya Politik.




Pertanyaan:

Budaya politik Indonesia masa Orde Lama dan Orde Baru
Indikator stabilitas politik selain “partisipasi”
Apakah pendekatan kultural masih relevan untuk memahami politik Indonesia kontemporer?
Faktor apa saja yang mempengaruhi budaya politik di Indonesia?



Jawaban:

1. Afan Gaffar menyatakan (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik.[1] Menalar pernyataan ini, sedikit-banyak searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Clifford Greetz dalam karya-karyanya. Dimana beliau menekankan terdapat 3 varian mengisi budaya dan sosial di Jawa khususnya, simpulannya golongan abangan,santri, dan priyayi erat kaitannya dengan hal-hal yang religius atau berbau kepercayaan. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu faktor yang menyeret sistem dan budaya perpolitikan Indonesia pada masa orde lama cenderung sarat agamis atau malah ke komunis. Maksudnya disini, terdapat muatan politik dalam agama yang dominannya Islam,Hindu, dan keyakinan atheis pada masa itu, untuk membangun dan memperkuat ideologi Pancasila dan dalam rangka mempropaganda masyarakat. Selain itu terdapat varian priyayi yang notabene dimaknai sebagai pegawai pemerintahan. Rasionalnya golongan ini masih mengacu pada sistem birokrasi kolonial. Keadaan ini yang membuat KKN dalam sudut pandang kecil-kecilan mulai terlahir. Terlepas daripada itu, situasi sangat wajar mengingat kondisi Bangsa Indonesia yang masih dalam tahap pencarian jati diri pasca kemerdekaan. Terlihat dari dinamisme pergejolakan sitem parlementer dan konstitusi. Sistem parlementer semasa Orde Lama yang efektif berjalan sejak Pemilu pertama 1955, dan pemenang yang tampil menjadi empat partai besar: PNI, NU, Masyumi, dan PKI.[2]

Perbedaan cukup terasa dalam budaya politik Indonesia di masa orde baru. Budaya politik tetap berjalan dengan politik demokrasi, akan tetapi menekankan nila-nilai Pancasila. Oleh karenanya pada era kepemimpinan Soeharto dikatakan sebagai budaya politik demokrasi Pancasila. Sayangnya, penerapan kebijakan-kebijakannya di lapangan banyak yang melenceng dari apa yang dipresentasikan. Terlihat masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup.[3] Golkar yang menjadi partainya Presiden Soeharto, selalu dapat dengan mudah memenangkan Pemilu dengan suara yang sangat banyak. Menumbuhkan pendapat bahwa itu melalui serangkain monopoli politisasi yang bahkan dilaksanakannya untuk menekan segenap kegiatan dan fungsi eksekutif dan legislatif. Selain itu, diskriminasi terhadap ras Tionghoa sangat nyata dirasakan dan terihat. Padahal sila ke-5 Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Problematika yang tak kalah parah ialah budaya politik menciptakan budaya birokrasi. Pada masa Soeharto, beliau menginterpretasikan budaya Jawa untuk kepentingan dia dalam mempertahankan kekuasaannya, seperti mikul duwul mendem jero yang artinya selalu menyiarkan kebaikan orang lain terutama kebaikan orang tua dan jika orang tua berbuat salah harus ditutup-tutupi.[4] Pada dasarnya, ini merupakan sosialisasi doktrin yang menyebabkan rakyat berpikir untuk selalu membayar budi pada pemerintah. Tambah lagi, Soeharto memainkan ABRI sebagai pion kudanya, memiliki multifungsi untuk mempertahankan kekuasaanya. Jelas sudah di masa tersebut KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) sangat rawan terjadi.

2. Mengacu pada mindmap oleh Ben Rosamond :

Political Culture (Political Socialisation) – Political Behaviour – Political System.[5]

Partisipasi merupakan bagian penting dalam menjaga stabiliitas politik dikarenakan adanya intervensi atau perilaku pasif yang membuat keadaan tetap konsisten, dimana budaya politik membentuk perilaku dan mempengaruhi sistem perpolitikan. Selain itu terdapat indikator lain berupa “pendidikan dan kesadaran”. Pemikiran ini didapat dari pemahaman ideal type of political culture oleh Gabriel Almond (1963), mengenai tingkatan parochial, subject, dan participant. Bahwa stabilitas berkaitan dengan partisipasi dimana sosialisasi mempengaruhi rasio partisipasi, dan dalam sosialisasi terdapat proses pembelajaran baik itu melalui sekolah,keluarga, lingkungan ataupun melakukan filter terhadap doktrin yang diterima. Selanjutnya ialah nilai,norma, dan supremasi hukum (rules of law). Pendapat ini didasari pada realita sekarang, dimana kolektivitas sangat kuat dapat ditemukan di negara yang melaksanakan komunis, dan individualis dapat ditemukan di negara yang liberalis.

3. Sebelum memutuskan perkara masih atau tidak relevannya pendekatan kultural untuk memahami politik Indonesia kontemporer. Ada baiknya mengetahui pengertian kultural dan politik secara strukturalisme. Kultural atau kebudayaan menurut E.B. Tylor (1871) adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[6] Sedangkan dari sisi lain, generalnya politik merupakan suatu proses dalam menentukan tujuan dan menjalankan tujuan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Menganalisa korelasi dari kedua pengertian tadi, saya berasumsi bahwa kultural tak hanya relevan saja, akan tetapi dapat selalu relevan tak lekang oleh waktu dan globalisasi untuk menjadi pendekatan memahami politik. Karena dalam setiap proses dan setiap tujuan yang dilaksanakan oleh masyarakat, telah mengkonstruksi perilaku sesuai dengan nilai dan norma menjadi suatu kebiasaan. Inilah yang menjadi dasar pijakan memahami kebudayaan politik. The set of values, beliefs, and attitudes within which a political system operates.[7] Lagipula, pendekatan kultural dapat bermanfaat untuk membuka pandangan baru dalam perpolitikan seperti mengenai pemahaman power atau money politic. If anything unites the divesrsity of cultural approaches to the study of politics, it is that there is a connection between the framework provided by political culture and the sense of ‘who we are’ politically.[8]

4. Untuk menjawabnya, penulis lebih memilih menganalisa melalui realita

Struktur politik

Indonesia yang telah sejak lama menerapkan sistem parlemen dan paham demokrasi Pancasila, memberikan keleluasaan bagi masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam sistem pemerintahan maupun perpolitikan. Oleh karenanya, negara ini menerapkan Pemilu Langsung untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, dan Wakil Rakyat.

Kesadaran dan partisipasi

Sedikit-banyak pernyataan ini akan lebih mudah dipahami melalui penghayatan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 dan Pasal 28, serta sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Situasi ekonomi dan sosial

Gonjang-ganjing pergejolakan stabilitas bahan-bahan pokok di pasaran, proyek-proyek yang tendernya masih bermain di atas proposal dengan cover ‘Atas nama rakyat’, dan bisik-bisik penggelapan dana di singgasana persidangan. Satu sama lain saling berinteraksi dan menjadi bahan ekspose media. Ini memunculkan sosialisasi yang kian waktu berkembang menjadi suatu budaya politik. Tercermin pada perilaku masyarakat yang telah hilang ‘kepercayaannya’ terhadap pemerintah (pesimis).

Agama/Kepercayaan

Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang religius (sebutan untuk memahami kuatnya nilai Ketuhanan dalam pengaturan kehidupan). Walaupun disatu sisi, value dari sekulerisme cukup berkembang, tapi dari pendekatan tradisional cukup kuat terasa. Mungkin esensinya ideologi Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan mempengaruhi budaya politik Indonesia.

Daftar Pustaka

- Metode Pustaka

Ben Rasmond, Chapter 3: Political Culture.

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. 2010. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.



- Metode Internet

Subuwo bin Sukaris, Ramalan Joyoboy “Korupsi”. Di: http://www.hastamitra.net/2011/03/ramalan-joyoboyo-korupsi.html , diakses 22 November 2011, 09:00 WIB



Arip Rustandi, Budaya Politik Indonesai. Di: http://bahanajarguru.blogspot.com/2011/09/budaya-politik-indonesia.html, diakses 22 November 2011, 08:00 WIB



Budaya dan Kinerja Birokrasi, di: http://e-humaniora.fisip.ut.ac.id/suplemen/ipem4371/dt3.swf diakses 23 Nopember 2011, 08:15 WIB



M.Rozi. T.B., Politik Islam Indonesia Di Masa-masa Yang Akan Datang. di: http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=10, diakses 23 Nopember 2011, 08:00 WIB

SELAMAT DATANG STAFF MUDA EM UB 2011

|



Malang

– Eksekutif Universitas Mahasiswa Brawijaya mengadakan kegiatan Training Organization (TO) dalam rangka penyambutan sekaligus pelatihan Staff Muda Ekekutif Mahasiswa di keluarga kabinet Pahlawan Brawijaya. Acara yang berlangsung kemarin (23/10), bertemakan ‘Mencetak Staff Muda EM UB 2011 Yang Visioner dalam Mengabdi kepada Tuhan, Bangsa, dan Almameter’ dan kegiatan ini bertempatkan di Auditorium lantai 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Brawijaya. Dari agenda diharapakan dapat menjadi langkah awal yang memotivasi dan beredukasi bagi mahasiswa, khususnya staff muda yang telah menjadi bagian Eksekutif Mahasiswa. “Semoga salah satu dari kalian yang hadir dan berada di depan saya, suatu saat nanti bisa berdiri didepan sini juga” kata Presiden Eksekutif Mahasiswa UB 2011, Arief Budi Laksono menekankan pentingnya acara ini.
Di awal kegiatan ini, Menteri Kebijakan Publik di EM UB 2011 yaitu bapak Win Ariga menjadi pemateri pertama. Mahasiswa dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) tersebut mengisi topik pembahasan berorientasi tentang ‘Struktur dan Manajemen Aksi’. Dalam materi yang disampaikan, bapak Win Ariga selaku salah seorang aktivis menyampaikan seberapa penting perlunya dan fungsinya aksi mahasiswa. Demonstrasi diperlukan salah satunya untuk memberikan pelajaran politik kepada mahasiswa dan rakyat yang tidak peka dengan keadaan negerinya ini. Selain itu untuk mengontrol kebijakan-kebijakan pemerintahan atau penguasa, agar dalam implementasi ke perangkatnya tidak terjadi miss- targeting dan out of control. Dengan kata lain, ini juga menjelaskan sala satu peran mahasiswa untuk selalu menaruh mata dan telinga di dalam kalangan atas. Korelasinya ialah aksi mahasiswa sebagai salah satu aktivitas yang dapat menunjukkan kepedulian mahasiswa dalam membela kepentingan rakyat Indonesia.
Sang aktivis yang baru saja datang dari Jakarta setelah demonstrasi bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) tersebut, juga menjelaskan bagaimana suatu aksi supaya berjalan dengan tertib dan aman. Manajemen aksi merangkul dari struktur keanggotaan, dimana terdapat koordinator lapangan beserta wakil (korlap), hubungan masyarakat (humas), keamanan, dan agitator, serta orator-orator ulung yang bisa mewadahi dan menumpahkan seluruh semangat demonstran. Analoginya ialah ketika setiap organ dan anggota badan berjalan dengan baik, maka tubuh itu sehat dan bisa melaksanakan segala sesuatunya dengan maksimal.
Presiden BEM Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Deta Fajri Adi mengusung judul ‘Spirit of Leadership’ yang membawa pengertian dan pemahaman leadership atau sifat kepemimpinan kepada staff muda EM UB 2011. Secara panjang lebar beliau menjelaskan sikap-sikap dasar yang harus dimiliki oleh setiap anggota Pahlawan Brawijaya yang salah satunya yaitu kepemimpinan. Pria kelahiran Bontang ini juga mengatakan “Kepemimpinan bukanlah tentang posisi, melainkan suatu sikap yang dapat memengaruhi orang lain ke jalan yang lebih baik. Oleh karenanya, Leadership is a choice.”

Setelah waktu ishoma (istirahat, sholat, dan makan) selama kurang lebih 20 menit. Acara dilanjutkan dengan pembicara bapak Qadaruddin Fajri Adi, STP yang didatangkan langsung dari Yogyakarta. Lelaki yang telah menjadi lulusan Universitas Gajah Mada tersebut, membawakan materi tentang ‘Aktivis dan Pergerakan Mahasiswa di Indonesia’. Pembahasan lebih mengkhusyukkan dalam pergerakan dan keadaan mahasiswa dari masa orde hingga reformasi sekarang. Selain itu beliau juga mengkritisi karakter pemuda modern ini, dimana bekal pendidikannya yang masih minimal atau terbatas. Kegiatan lainnya yaitu perkenalan Kabinet Pahlawan Brawijaya dan adu jargon antar kementrian. Salah satu ajrgon yang paling menarik disuguhkan oleh Kementrian Infokom dengan penuh semangat dan ledakan.
Akhirnya menuju akhir acara yaitu simulasi aksi dengan tema ‘Penurunan biaya SPP’ di depan rektorat tepat di lapangannya. Ini dilaksanakan agar dapat memupuk jiwa staff eksekutif muda yang kuat dan juga memahami manajemen aksi. Teriakan-teriakan “Turunkan SPP” membahana pada sore itu. Seolah-seolah tak dapat dibedakan antara simulasi dan aksi yang riil. Mungkin karena tuntutan itu bersifat yang sebenar-benarnya. Bahkan ada beberapa dari mereka yang meneriakan “Turunkan SPP atau rektor yang turun”. Namun, simulasi kasi itu tidak berjalan lama. Andai saja…

Aksi Mahasiswa Universitas Brawijaya Mengevaluasi SBY

|


Aksi Mahasiswa Universitas Brawijaya Mengevaluasi SBY
20/10, Dalam rangka memeringati 7 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sekaligus 2 tahun kepemimpinan SBY-Boediono. Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya beserta jajaran BEM Fakultas Universitas Brawijaya menggelar aksi evaluasi pemerintahan di depan gedung DPRD kota Malang. Aksi ini juga sebagai salah satu rentetan dari rangkaian kegiatan Front Eksekutif Mahasiswa di seluruh Indonesia. Hal ini ditunjukkan kepada pemerintahan SBY yang telah gagal dalam menepati janji-janjinya. Yang mana tercermin dalam 4 indikator utama yaitu perlindungan WNI, pewujudan target pendidikan, penegakkan kekuatan hukum, dan kesehjateraan umum.
Acara yang diawali dengan long-march mulai dari Masjid Al- menuju ke gedung DPRD Malang, panji-panji dan jargon membahana selama perjalanan almameter biru. Sesampainya disana, Hadangan polisi telah mengamankan acara lain yang serupa digawangi oleh KAMMI, HMI, dan PMII . Tuntutan semua pihak sebenarnya sama agar SBY secepat mungkin meninggalkan kursinya. Terlihat dari orasi-orasi yang dikumandangkan bahwa pemerintahan seperti ini sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika tenaga kerja baik luar dan dalam negeri tidak diperhatinkan lagi keadaanya. Bahkan, beberapa pejuang devisa negara telah siap dihukum mati di luar sana tanpa adanya pengusutan yang lebih dalam. Belum lagi target pendidikan pemerintah, 20% dana APBN yang telah dialokasikan tidak terasa manifestasinnya. Berbicara kesehjateraan umum, apabila data-data konkret diatas tidak teratasi, presentasi tercapainya kesehjateraan pasti makin tereduksi. Parahnya lagi, korupsi-korupsi yang merajalela tidak kunjung selesai pengusutannya. Macam kasus century, mafia pajak, dan kasus-kasus yang membelit kementrian akhir-akhir ini. “Reshuffle kosong! Hanyalah pengalihan isu-isu besar dan penting” sahut Arief Budi Laksono, Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya.

Selain itu, teaterikal dari BEM FIA Universitas Brawijaya tentang sikap acuh SBY terhadap permasalahan nyata negeri ini ditampilkan. Dilanjutkan peniupan lilin serta pembakaran kertas yang menunjukkan bahwa pemerintahan di tahun ini telah gagal merealisasikan harapan rakyat. Sebelum kegiatan ditutup dengan doa, Presiden EM Univerrsitas Brawijaya berhasil masuk menjadi perwakilan ke gedung DPRD menyampaikan pesan rakyat melalui mahasiswa. Besar harapan aksi ini akan membuat pemerintahan kebakaran jenggot dan meningkatkan kinerjanya. Mengingat masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesasikan negeri tercinta, Indonesia.