Menjadi Anggota DPD RI Berakal Sistem Tatanegara Ideal, Berhati Nurani Rakyat, dan Berjiwa Mahasiswa

|

Menjadi Anggota DPD RI Berakal Sistem Tatanegara Ideal, Berhati Nurani Rakyat, dan Berjiwa Mahasiswa

DPD dibubarkan saja kecuali kewenangan DPD ditambah dan diperkuat.”, Jimly Asshiddiqie.


Ditengah kesemrawutan problematika demokrasi, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) masih dinilai nisbi dan “serba tanggung” sebagai suatu lembaga legislatif. Asas trias politica oleh Montesqiue sebenarnya mengajarkan tidak hanya berfungsi sebagai separation of power, melainkan untuk negara yang menganut presidensial dapat mengaplikasikan aspek distribution of power. Tujuannya check and balances lebih mudah direalisasikan dalam sistem pemerintahan. Namun sayangnya, posisi DPD RI kembali berbenturan dengan peran DPR RI karena tumpang tindih wewenang atau mudahnya ambiguinitas antara unicameral dan bicameral. Sehingga memberi distorsi kualitas kinerjanya.

Andai saya menjadi anggota DPD RI, tugas pertama yang perlu digodok ialah sintesa rekonstruksi parlemen*melalui afiliasi konsep trias politica milik Indonesia sendiri. Penguatan fungsi legislasi DPD, tetapi dengan membatasi peran atau keterlibatan Presiden dalam fungsi legislasi. Insha Allah akan mampu menjawab keterbatasan posisi DPD dalam pasal 22D Ayat (1) dan ayat (2). Sehingga political will yang kuat demi membagun bangsa lewat daerah mampu diterjemahkan oleh mekanisme checks and balances dalam pembahasan RUU yang hanya terjadi antara DPR dan DPD. Sistem ketatanegaraan ideal seperti ini dengan pemikirannya akan sanggup menjawab rintangan macam kecepatan proses pembuatan undang-undang dan “ongkosnya” yang mungkin seperti ceremonial DPD RI belakangan ini. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa lewat kehadiran unsur “komite penengah” dan semangat kolektivitas kami anggota parlemen (das sein). Peran dan fungsi DPD RI inilah yang menjadi harapan (das solllen) untuk menjaga keutuhan bangsa, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah yang sedang terpuruk dalam suasana kesenjangan dan kecemberuan sosial berkepanjangan, rawan mengancam disintegrasi bangsa. bukan sebaliknya. Andai saya menjadi anggota DPD RI, format sederajat berakal sistem ketatanegaraan ideal pasti akan terwujud.

Hamdan Zoelva menyatakan “Dalam perubahan UUD 1945 ini ditentukan dengan tegas bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum (Pasal 22C ayat 1), yang jumlahnya sama untuk setiap provinsi (Pasal 22C ayat 2)”. Di tengah keterbatasan ini, saya memahami betul kuatnya pengaruh kekuasaan yang ada pada tiap anggota DPD RI. Yang dipilih murni dari suara rakyat daerah, mengetahui seluk beluk permasalahan dan kepentingan daerah, dan wewenang memberikan pertimbangan kepada DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama (pasal 22D ayat 2). Andai saya menjadi anggota DPD, maka pertimbangan RUU akan terfokus ke pajak investasi dan pembangunan sektor riil yang selama ini kurang mewakili kepentingan rakyat di daerah. Yang afeksi negatifnya dapat dilihat layaknya Mesuji, Bima, dan Papua. Problematikanya karena terselip kepentingan partai politik di anggota DPR RI, tidak seperti DPD RI yang lebih mampu menyuarakan potret aspirasi rakyat di pelosok daerah. Yang mana saya checklist di “blog DPD RI” agar mampu tersebar secara massive dan menggugah hati nurani tiap elemen bangsa, khususnya para investor. Lanjut kata, sebagai representasi berkedudukan horizontal mendampingi eksekutif daerah. Jiwa mahasiswa yang mampu mengkritisi deep and cutthroat menjadi modal penting untuk fungsi pengawasan. Agar jelas terpampang independensi controlling kebijakan pemerintah khususnya dalam*program developmentalism pelosok daerah untuk bersinergi menghidupkan harapan rakyat. Andai saya menjadi anggota DPD RI berhati nurani rakyat dan berjiwa mahasiswa.