|



Muhammad Farayunanda Ralufzie. 115120400111015.

Program Studi Hubungan Internasional. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.

Universitas Brawijaya

Pengantar Ilmu Politik. Tugas Pertama Pasca-UTS. Budaya Politik.




Pertanyaan:

Budaya politik Indonesia masa Orde Lama dan Orde Baru
Indikator stabilitas politik selain “partisipasi”
Apakah pendekatan kultural masih relevan untuk memahami politik Indonesia kontemporer?
Faktor apa saja yang mempengaruhi budaya politik di Indonesia?



Jawaban:

1. Afan Gaffar menyatakan (Gaffar, 2004:106-118) budaya politik Indonesia yang dominan adalah yang berasal dari etnis Jawa, kecenderungan kepada patronage dan kecenderungan neo-patrimonialistik.[1] Menalar pernyataan ini, sedikit-banyak searah dengan penelitian yang dilakukan oleh Clifford Greetz dalam karya-karyanya. Dimana beliau menekankan terdapat 3 varian mengisi budaya dan sosial di Jawa khususnya, simpulannya golongan abangan,santri, dan priyayi erat kaitannya dengan hal-hal yang religius atau berbau kepercayaan. Hal ini mungkin yang menjadi salah satu faktor yang menyeret sistem dan budaya perpolitikan Indonesia pada masa orde lama cenderung sarat agamis atau malah ke komunis. Maksudnya disini, terdapat muatan politik dalam agama yang dominannya Islam,Hindu, dan keyakinan atheis pada masa itu, untuk membangun dan memperkuat ideologi Pancasila dan dalam rangka mempropaganda masyarakat. Selain itu terdapat varian priyayi yang notabene dimaknai sebagai pegawai pemerintahan. Rasionalnya golongan ini masih mengacu pada sistem birokrasi kolonial. Keadaan ini yang membuat KKN dalam sudut pandang kecil-kecilan mulai terlahir. Terlepas daripada itu, situasi sangat wajar mengingat kondisi Bangsa Indonesia yang masih dalam tahap pencarian jati diri pasca kemerdekaan. Terlihat dari dinamisme pergejolakan sitem parlementer dan konstitusi. Sistem parlementer semasa Orde Lama yang efektif berjalan sejak Pemilu pertama 1955, dan pemenang yang tampil menjadi empat partai besar: PNI, NU, Masyumi, dan PKI.[2]

Perbedaan cukup terasa dalam budaya politik Indonesia di masa orde baru. Budaya politik tetap berjalan dengan politik demokrasi, akan tetapi menekankan nila-nilai Pancasila. Oleh karenanya pada era kepemimpinan Soeharto dikatakan sebagai budaya politik demokrasi Pancasila. Sayangnya, penerapan kebijakan-kebijakannya di lapangan banyak yang melenceng dari apa yang dipresentasikan. Terlihat masa Orde Baru lebih bersifat pada nilai sentralistik dan budaya politik yang tertutup.[3] Golkar yang menjadi partainya Presiden Soeharto, selalu dapat dengan mudah memenangkan Pemilu dengan suara yang sangat banyak. Menumbuhkan pendapat bahwa itu melalui serangkain monopoli politisasi yang bahkan dilaksanakannya untuk menekan segenap kegiatan dan fungsi eksekutif dan legislatif. Selain itu, diskriminasi terhadap ras Tionghoa sangat nyata dirasakan dan terihat. Padahal sila ke-5 Pancasila berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.” Problematika yang tak kalah parah ialah budaya politik menciptakan budaya birokrasi. Pada masa Soeharto, beliau menginterpretasikan budaya Jawa untuk kepentingan dia dalam mempertahankan kekuasaannya, seperti mikul duwul mendem jero yang artinya selalu menyiarkan kebaikan orang lain terutama kebaikan orang tua dan jika orang tua berbuat salah harus ditutup-tutupi.[4] Pada dasarnya, ini merupakan sosialisasi doktrin yang menyebabkan rakyat berpikir untuk selalu membayar budi pada pemerintah. Tambah lagi, Soeharto memainkan ABRI sebagai pion kudanya, memiliki multifungsi untuk mempertahankan kekuasaanya. Jelas sudah di masa tersebut KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme) sangat rawan terjadi.

2. Mengacu pada mindmap oleh Ben Rosamond :

Political Culture (Political Socialisation) – Political Behaviour – Political System.[5]

Partisipasi merupakan bagian penting dalam menjaga stabiliitas politik dikarenakan adanya intervensi atau perilaku pasif yang membuat keadaan tetap konsisten, dimana budaya politik membentuk perilaku dan mempengaruhi sistem perpolitikan. Selain itu terdapat indikator lain berupa “pendidikan dan kesadaran”. Pemikiran ini didapat dari pemahaman ideal type of political culture oleh Gabriel Almond (1963), mengenai tingkatan parochial, subject, dan participant. Bahwa stabilitas berkaitan dengan partisipasi dimana sosialisasi mempengaruhi rasio partisipasi, dan dalam sosialisasi terdapat proses pembelajaran baik itu melalui sekolah,keluarga, lingkungan ataupun melakukan filter terhadap doktrin yang diterima. Selanjutnya ialah nilai,norma, dan supremasi hukum (rules of law). Pendapat ini didasari pada realita sekarang, dimana kolektivitas sangat kuat dapat ditemukan di negara yang melaksanakan komunis, dan individualis dapat ditemukan di negara yang liberalis.

3. Sebelum memutuskan perkara masih atau tidak relevannya pendekatan kultural untuk memahami politik Indonesia kontemporer. Ada baiknya mengetahui pengertian kultural dan politik secara strukturalisme. Kultural atau kebudayaan menurut E.B. Tylor (1871) adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.[6] Sedangkan dari sisi lain, generalnya politik merupakan suatu proses dalam menentukan tujuan dan menjalankan tujuan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Menganalisa korelasi dari kedua pengertian tadi, saya berasumsi bahwa kultural tak hanya relevan saja, akan tetapi dapat selalu relevan tak lekang oleh waktu dan globalisasi untuk menjadi pendekatan memahami politik. Karena dalam setiap proses dan setiap tujuan yang dilaksanakan oleh masyarakat, telah mengkonstruksi perilaku sesuai dengan nilai dan norma menjadi suatu kebiasaan. Inilah yang menjadi dasar pijakan memahami kebudayaan politik. The set of values, beliefs, and attitudes within which a political system operates.[7] Lagipula, pendekatan kultural dapat bermanfaat untuk membuka pandangan baru dalam perpolitikan seperti mengenai pemahaman power atau money politic. If anything unites the divesrsity of cultural approaches to the study of politics, it is that there is a connection between the framework provided by political culture and the sense of ‘who we are’ politically.[8]

4. Untuk menjawabnya, penulis lebih memilih menganalisa melalui realita

Struktur politik

Indonesia yang telah sejak lama menerapkan sistem parlemen dan paham demokrasi Pancasila, memberikan keleluasaan bagi masyarakat agar aktif berpartisipasi dalam sistem pemerintahan maupun perpolitikan. Oleh karenanya, negara ini menerapkan Pemilu Langsung untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, dan Wakil Rakyat.

Kesadaran dan partisipasi

Sedikit-banyak pernyataan ini akan lebih mudah dipahami melalui penghayatan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 dan Pasal 28, serta sila ke-4 Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Situasi ekonomi dan sosial

Gonjang-ganjing pergejolakan stabilitas bahan-bahan pokok di pasaran, proyek-proyek yang tendernya masih bermain di atas proposal dengan cover ‘Atas nama rakyat’, dan bisik-bisik penggelapan dana di singgasana persidangan. Satu sama lain saling berinteraksi dan menjadi bahan ekspose media. Ini memunculkan sosialisasi yang kian waktu berkembang menjadi suatu budaya politik. Tercermin pada perilaku masyarakat yang telah hilang ‘kepercayaannya’ terhadap pemerintah (pesimis).

Agama/Kepercayaan

Tak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris yang religius (sebutan untuk memahami kuatnya nilai Ketuhanan dalam pengaturan kehidupan). Walaupun disatu sisi, value dari sekulerisme cukup berkembang, tapi dari pendekatan tradisional cukup kuat terasa. Mungkin esensinya ideologi Pancasila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan mempengaruhi budaya politik Indonesia.

Daftar Pustaka

- Metode Pustaka

Ben Rasmond, Chapter 3: Political Culture.

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. 2010. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.



- Metode Internet

Subuwo bin Sukaris, Ramalan Joyoboy “Korupsi”. Di: http://www.hastamitra.net/2011/03/ramalan-joyoboyo-korupsi.html , diakses 22 November 2011, 09:00 WIB



Arip Rustandi, Budaya Politik Indonesai. Di: http://bahanajarguru.blogspot.com/2011/09/budaya-politik-indonesia.html, diakses 22 November 2011, 08:00 WIB



Budaya dan Kinerja Birokrasi, di: http://e-humaniora.fisip.ut.ac.id/suplemen/ipem4371/dt3.swf diakses 23 Nopember 2011, 08:15 WIB



M.Rozi. T.B., Politik Islam Indonesia Di Masa-masa Yang Akan Datang. di: http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=10, diakses 23 Nopember 2011, 08:00 WIB

0 comments:

Posting Komentar